EMAK : MASA-MASA MELAWAN KANKER

by Orange Blue


Siang itu, hp saya bergetar beberapa kali.
Ada telepon masuk.
Saya melihat nama yang muncul di layar : Ibuk.
Tidak biasanya beliau menelepon siang-siang di hari kerja. Biasanya, kami hanya saling menelepon ketika weekend datang, atau ketika malam hari.
Saya tidak mengangkatnya, dan memilih untuk membalas dengan pesan singkat.
“Saya masih kuliah, buk”. Tulis saya kala itu. Saya memang tidak biasa menerima telepon ketika sedang kuliah, walaupun sebagian besar dosen mengizinkan mahasiswa untuk menerima telepon di luar ruangan.
Tidak ada balasan.
Hati saya mendadak cemas, pikiran melayang entah ke mana. Penjelasan dosen yang biasanya terasa cepat, hari itu terasa sangat lambat. Empat puluh lima menit terakhir di dalam kelas seolah terasa seperti empat setengah jam.
Setelah dosen mengakhiri kelas, -yang kebetulan adalah kelas terakhir hari itu, maka saya langsung bergegas pulang ke kos. Tak sempat berganti baju, saya langsung menghubungi ibuk.
Lama tidak tersambung, sampai akhirnya saya mematikan telepon dan pergi ke kamar mandi. Setelah kembali, ada panggilan masuk dari ibuk. Saya cepat-cepat mengangkatnya.
“Halo buk Assalamu’alaikum.” Sapa saya tidak sabaran
“Wa’alaikumsalam, mbak.” Jawab beliau. Suara beliau terdengar normal. Seketika cemas yang menyesaki dada perlahan-lahan mulai menguap.
“Ada apa buk, tumben telepon pas mbak kuliah?” saya bertanya memastikan.
“Mbak, ibuk ndak tahu mau ngasih tahu mbak apa ndak. Takutnya mbak  kepikiran, dan jadi sakit di sana.” Ibuk menjelaskan. Cemas yang perlahan menguap, seolah-olah terkumpul kembali memenuhi dada. Ada yang tidak beres.
Sudah menjadi kebiasaan ibuk untuk mengatakan hal-hal seperti itu kalau sesuatu yang buruk terjadi. Tentu hal tersebut beralasan, karena saya termasuk orang yang sering memikirkan suatu hal terlampau dalam. Pernah suatu waktu, karena mendengar suatu kabar buruk dari kampung halaman, saya akhirnya kepikiran dan jatuh sakit di Jogja.
“Apa buk? Kasih tau saja buk. Mbak janji ndak akan kepikiran dan jatuh sakit.” Saya mencoba meyakinkan.
“Emak mbak, positif kanker.”
Deg.
Dunia saya seakan menjadi gelap seketika. Ada yang salah. Ada yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Emak. Satu-satunya sesepuh yang tersisa di keluarga saya. Nenek saya, ibunya ibuk.
Kedua kakek saya meninggal, bahkan ketika ibuk dan bapak belum menikah. Sementara nenek dari pihak bapak meninggal ketika saya SMP. Ada perasaan sedih bercampur takut kehilangan yang tiba-tiba menyergap. Tidak terasa, pipi saya basah oleh bulir-bulir air mata yang jatuh. Saya belum banyak mengalami kehilangan, tapi tentu kehilangan orang yang disayang adalah sesuatu yang paling tidak saya inginkan. Saya tidak ingin kehilangan emak.
Selama ini, emak adalah panutan sekaligus tempat pulang yang menyenangkan. Di saat bapak dan ibuk begitu membebaskan saya untuk pergi ke manapun, emak justru menunjukkan kasih sayangnya dengan cara memarahi bapak dan ibuk. Bagi beliau, seorang perempuan tidak seharusnya dibiarkan jauh-jauh dari keluarga.
Saya ingat betul ketika di suatu hari jatuh sakit karena terlalu  lelah dengan tugas-tugas, saya menelepon orangtua sambil menangis. Bapak dan ibuk tentu mencoba menguatkan dari kampung halaman, Jarak Lamongan-Jogja yang jauh membuat kami tidak leluasa untuk saling berkunjung dan pulang. Sedang emak, beliau memarahi bapak habis-habisan dan menyuruh bapak untuk langsung datang ke Jogja. Sebuah pengalaman lucu sekaligus mengharukan bagi saya. Saya juga ingat ada hari-hari di mana saya marah atau dimarahi orangtua, maka tempat terbaik untuk melarikan diri adalah rumah emak.
“Hasil tesnya baru keluar tadi siang, mbak.” Ibuk menjelaskan.
Beberapa waktu sebelumnya, kami sekeluarga memang dicemaskan dengan adanya benjolan kecil di payudara sebelah kiri emak. Waktu itu, karena rumah sakit jauh, emak akhirnya hanya periksa ke dokter terdekat. Dokter berkata bahwa itu bukan apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami sekeluarga lega mendengarnya.
Bulan berganti. Benjolan tersebut ternyata masih ada dan sedikit demi sedikit terasa agak membesar, walau perbedaannya sangat kecil. Saya tidak tahu itu karena memang tidak ada yang memberi tahu saya. Mungkin keluarga saya tidak ingin membuat kuliah saya terganggu oleh kebenaran yang belum pasti adanya.
“Beberapa hari lalu, emak cerita kalau payudaranya mengeluarkan darah, mbak. Ibuk langsung panik. Besoknya, emak langsung ke rumah sakit sama bapak, periksa dan cek laboratorium.” Ibuk kembali menjelaskan. “Hasilnya keluar hari ini, positif. Emak harus operasi.” Beliau menambahkan.
Di keluarga saya, kata operasi tidak lagi menjadi momok. Hampir sebagian keluarga besar pernah menjalani operasi, mulai dari operasi caesar, hingga operasi untuk penyakit tertentu. Saya sendiri pernah mengalami operasi : usus buntu.
Tapi kanker tentu bukan sesuatu yang main-main.
Hari itu, saya menghabiskan malam dengan mengerjakan tugas sambil menangis memikirkan emak.
Hari silih berganti.
Waktu yang tidak ditunggu akhirnya datang juga : Operasi.
Saya yang waktu itu duduk di semester lima sedang melewati masa-masa tersibuk dalam semester. Ujian akhir akan dilaksanakan beberapa minggu ke depan, saya sibuk mengerjakan berbagai deadline tugas dan laporan. Alhasil, saya tidak ada waktu untuk pulang. Ditambah lagi, keesokan harinya ada ujian praktikum yang wajib daya hadapi.
Sebagai seorang cucu, saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri. Saya tidak di sana ketika emak sedang mengalami masa beratnya.
Operasi itu berlangsung hingga larut malam. Tapi semua berjalan dengan baik dan lancar. Alhamdulillah. Kanker yang bersarang di tubuh emak telah terangkat, tetapi untuk memastikan semuanya, perlu dilakukan tes laboratorium.
Hasilnya keluar dua minggu kemudian.
Tidak sesuai harapan, ternyata sel kanker yang ada telah menyebar di sekitar payudara hingga ke bawah ketiak sebelah kiri. Kami, lagi-lagi menangis mengetahuinya. Tidak ada hal lain yang harus dilakukan selain operasi pengangkatan payudara sebelah kiri.
Saya menangis setiap malam, sembari berdoa untuk kesembuhan emak. Ujian akhir sudah di depan mata, jadwal operasi tak kunjung ditentukan. Saya sejujurnya kurang fokus dengan perkuliahan waktu itu. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa harus emak?
Meski belum terlalu tua, tapi tubuh emak tentu tidak sekuat sebelumnya. Lagi-lagi, selama beberapa hari, dada saya dipenuhi sesak yang menggumpal-gumpal.
Berat, penuh.
Seolah udara yang saya hirup tidak lagi melegakan. Selama beberapa hari tersebut, saya terus berkomunikasi dengan keluarga. Tak jarang juga bapak ibuk meminta pendapat saya tentang kondisi emak. Operasi pengangkatan tersebut tentu akan meninggalkan efek, bahkan mungkin trauma yang mendalam bagi emak. Kami tidak ingin emak merasakannya. Tapi apa boleh buat, tidak ada cara lain. Jika tidak segera dioperasi, kemungkinan sel kanker menyebar akan semakin besar. Kami lebih tidak ingin emak merasakan sakit berkelanjutan.
Akhirnya, tanggal operasi kedua telah ditentukan.
Hari jumat.
Saya, lagi-lagi, kemungkinan tidak dapat pulang.
Itu adalah minggu ujian akhir. Saya tidak mungkin pulang.
Beberapa hari sebelum hari H, saya merasa tidak tenang. Perasaan bersalah kembali menyeruak tiba-tiba. Saya belum pernah melihat kondisi emak secara langsung dari awal diagnosis hingga akhirnya menjelang operasi kedua. Saya positif cemas.
Ujian akhir dilaksanakan selama dua minggu. Saya kebetulan memperoleh hari libur selama lima hari : Jumat, Sabtu, Minggu, Senin, dan Selasa. Jika kesempatan-kesempatan biasa, saya tidak akan pulang. Tapi mengilhami rasa bersalah saya pada emak, saya memutuskan pulang hari itu.
Pukul 16.00, saya berangkat menuju terminal giwangan. Saya mengambil rute Yogyakarta-Surabaya-Lamongan dengan waktu tempuh 12 jam. Malam itu, saya menghabiskan waktu untuk tidur di dalam bus. Waktu berjalan dengan lambat, apalagi suasana bus yang tidak nyaman membuat saya mual. Akhirnya, setengah jam sebelum sampai di terminal bungurasih Surabaya, saya muntah. Hal yang sangat jarang saya alami semenjak sering berpergian ke mana-mana menggunakan bus.
Operasi emak telah selesai malam itu juga. Berjalan dengan baik dan lancar. Alhamdulillah.
Saya tiba di Lamongan pukul 04.30 pagi. Turun dari bus, saya langsung menuju ruang rawat emak. Saya memang memutuskan untuk langsung ke rumah sakit dan tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Saat pertama kali melihat kondisi emak, hal yang saya lakukan adalah menangis.
Semua orang mewanti-wanti saya agar tidak menangis, tapi pertahanan saya pada akhirnya jebol juga. Kondisi emak terlihat begitu lemas, dengan cairan infus dan selang darah yang menembus masuk ke dada beliau. Pasti sakit sekali rasanya. Tapi emak terlihat begitu tegar. Ah, beliau memang kuat.
“Gimana mak?” saya bertanya seadanya, tidak tahu harus bagaimana.
“Ndak apa-apa, nduk. Kamu kenapa pulang? Bukannya masih ujian, nduk?”. Emak bertanya, suaranya begitu lemah.
“Saya libur, mak. Pingin ketemu emak.” Jawab saya, seraya sekuat hati menahan air mata yang hampir menetes. Saya tidak ingin emak bersedih karena melihat saya menangis.
“Emak ndak apa-apa. Kamu libur berapa hari?” beliau bertanya, lagi.
“Libur lima hari, mak. Tapi saya pingin pulang. Kangan rumah, kangen emak, sekalian liburan, saya stres ujian.” Kilah saya. Bagaimanapun, saya tidak ingin membuat emak merasa bersalah karena membuat saya pulang demi beliau. Emak adalah salah satu orang yang melarang saya pulang jika hanya ada waktu libur beberapa hari. Maklum, beliau tahu betul bahwa saya mudah sekali kelelahan akibat perjalanan jauh.
Hari itu, saya memutuskan untuk menginap di rumah sakit menemani emak.
Selama itu, sesekali emak mengeluh tentang rasa sakit di dadanya. Payudara sebelah kiri beliau sudah terangkat. Bagaimanapun, masih ada hasil lab yang harus ditunggu dalam beberapa minggu. Saya selalu berdoa semoga tes lab yang dimaksud menunjukkan hasil yang sesuai dengan harapan : Kesembuhan Total Emak.
Saya pulang ke rumah hari minggu sore. Emak sudah bisa pulang hari senin siang. Sungguh lega rasanya melihat emak keluar dari rumah sakit. Setidaknya, kondisi beliau pasti sudah membaik, sehingga dokter memperbolehkan beliau untuk rawat jalan.
Dan begitulah, saya akhirnya berangkat ke Jogja hari Selasa pagi, menuntaskan ujian yang masih tersisa beberapa. Ditambah, hari sabtu minggu akan ada acara besar dari Himpunan Mahasiswa Departemen Saya. Acara puncak dari serangkaian program kerja lainnya : Penanaman.
Mendengar kondisi emak yang semakin membaik, saya memutuskan untuk menunda kepulangan dan ikut berpartisipasi dalam acara penanaman. Selama mengikuti acara tersebut, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan kesehatan emak. Tapi kepulangan emak dari rumah sakit sudah membuat saya yakin bahwa beliau akan baik-baik saja.
Saya segera pulang kampung ketika acara penanaman selesai. Perasaan lega langsung menyapa ketika melihat kondisi emak semakin membaik. Saya ikut menemani beliau ketika melakukan check up dan membuka selang tempat keluar darah yang berasal dari dada beliau. Kondisi emak baik-baik saja, meskipun tak jarang mengeluh nyeri di bagian dada. Meski begitu, emak tetap memiliki semangat sembuh yang tinggi.
Ada saat-saat di mana emak menyendiri di ruang tamu rumah beliau, atau di kamar, di depan televisi, di manapun. Saya tahu pikiran tentang penyakit sangat mengganggu beliau. Sebelum sakit pun, emak terkadang suka menyendiri dan melamun. Mungkin merindukan Mbah Kakung yang sudah tiada. Bagaimanapun, Mbah Kakung adalah orang yang mencintai emak, begitu pula sebaliknya.
Hari terus berganti hingga tiba saatnya untuk mengambil hasil lab.
Hasil yang sama sekali tidak kami harapkan.
Entah bagaimana, sel-sel kanker sudah menyebar dan masih ada yang belum ikut terangkat. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh jika tidak ingin sel kanker terus menyebar adalah Kemoterapi.
Mungkin operasi terdengar familiar dan bukan lagi menjadi momok menakutkan.
Tapi kemoterapi, bukan hal familiar di keluarga kami.
Saya langsung menggali informasi, membaca banyak referensi tentang kemoterapi. Hasilnya justru membuat keluarga kami ragu untuk melanjutkannya. Ada banyak sumber yang menyebutkan bahwa efek kemoterapi sangat menyakitkan bagi tubuh. Tentu kami tidak ingin melihat emak kesakitan. Selain itu, bapak dan anggota keluarga lain aktif bertanya pada beberapa orang yang pernah melakukan kemoterapi. Hasilnya beragam. Efek kemoterapi seringkali berbeda-beda tiap individu. Ada yang merasa kepanasan hingga sakit sekujur tubuh, ada pula yang tidak merasakan apa-apa.
Setelah berdiskusi beberapa hari, akhirnya kami memutuskan untuk lanjut kemoterapi. Kami percaya sepenuhnya pada doa-doa dan pada tim dokter, juga pada emak yang akan bertahan melalui semua ini. Di hari pertama checkup sebelum kemoterapi, saya ikut menemani emak ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, seperti sewajarnya rumah sakit, banyak sekali orang di dalamnya. Baik sedang menemani maupun yang akan berobat. Antrian emak masih panjang. Sembari menunggu, kami mengobrol dengan teman duduk sebelah. Beliau pun sama, kanker payudara. Kami bertukar cerita, saling mendengar bagaimana awal mula penyakit itu terdeteksi. Emak lebih banyak mendengarkan, sebab ibu paruh baya yang kami ajak mengobrol sudah lebih dulu menjalani pengobatan.
Dari bertukar cerita tersebut, sedikit banyak saya tahu bahwa kasus kanker payudara sangat banyak terjadi. Ada beberapa yang akhirnya menyerah dan berpulang, ada yang bertahan walau menanggung sakit bertahun-tahun. Ada pula yang sembuh dan kembali normal.
Di ruang tunggu itu pun, hampir sebagian besar didominasi oleh perempuan-perempuan yang serupa dengan emak : hidup dengan satu payudara. Bagi saya, semua perempuan tersebut tangguh, termasuk juga emak.
Untuk pertama kalinya, saya merasa sangat bersyukur dengan sakit yang selama ini saya miliki : Maag, Anemia dan Vertigo yang sering kambuh. Saya bersyukur, sebab sakit itu hanya sakit ringan yang bisa diatasi hanya dengan istirahat beberapa jam. Selama ini, saya selalu mengeluh jika salah satu dari ketiga penyakit itu kambuh. Walau banyak yang bilang bahwa sakit dapat melunturkan dosa, tetap saja merasakan tubuh lemas dan kesakitan itu sama sakali bukan sesuatu yang menyenangkan.
Seketika, saya merasa sangat malu karena sudah terlalu banyak mengeluh. Padahal, banyak perempuan yang berjuang sedemikian hebat untuk bisa kembali sehat.
Bagi saya, perjuangan emak melawan kanker pada akhirnya menjadi semangat juang saya untuk hidup. Emak adalah perempuan hebat di hidup saya. Bersama ibuk, emak telah menunjukkan banyak hal tentang menjadi kuat dan berani. Ketika pada akhirnya kami harus jatuh, maka tidak ada hal lain yang perlu kami lakukan kecuali bangkit. Lagi dan lagi.

hope
Saya sangat bersyukur emak bisa bertahan melewati banyak hal berat ini. Beliau harus menjalani beberapa kali kemoterapi. Kabar baiknya, senin depan adalah kali terakhir beliau menjalani kemoterapi. Selama ini, beliau menjalani kemoterapi dengan begitu tangguh. Kemoterapi hampir tidak memberi beliau efek samping yang menyakitkan, kecuali satu hal : beliau mengalami kerontokan rambut.
Bagaimanapun, setelah kemoterapi terakhir itu, saya berharap emak sembuh total. Rasanya, tidak sanggup melihat emak menjalani berbagai pengobatan demi menyembuhkan penyakit yang semakin lama semakin melemahkan beliau. Saya ingin emak menghadiri wisuda saya. Sebagai cucu pertama, jika lulus kuliah, maka saya akan menjadi sarjana pertama di keluarga emak. Sebab selama ini, baik ibuk maupun paklik dan bulik, semuanya hanya mengenyam bangku pendidikan sampai SMA. Itu karena perjuangan emak tak kenal lelah mencari uang sebagai orangtua tunggal sejak kakek meninggal ketika ibuk masih SMA.
Saya ingin melihat emak tersenyum lebar di hari kelulusan saya. Saya ingin membuat beliau bangga. Dan yang terpenting : Saya ingin menjadi perempuan tangguh seperti emak.

Yogyakarta, 17 Mei 2018