Pagi itu, semua orang sibuk
mempersiapkan dirinya masing-masing. Saya sedang duduk-duduk di pondokan
perempuan ketika salah seorang teman bertanya “Kamu ikut naik ga?”
Keyakinan saya untuk
tinggal di pondokan langsung goyah. Keinginan untuk menjadi lebih dekat dengan
rinjani pun membuat saya memantapkan hati untuk turut serta naik ke atas.
Seperti rencana, agenda hari itu adalah mengecek sumber air Batubara yang
berlokasi di perbatasan Taman Nasional Gunung Rinjani.
Perjalanan dimulai dari
depan pondokan KKN di dusun Tenggorong, desa Gumantar. Pengecekan sumber air
bertujuan untuk memastikan kondisi sumber, karena air di dusun Tenggorong
memang sering tidak mengalir.
Sebagai gambaran, air
terkadang hanya mengalir ketika pagi dan sore hari, bahkan pernah tidak
mengalir selama tiga hari berturut-turut. Manajemen distribusi air memang masih
sangat kurang dan kesadaran masyarakat akan pentingnya manajemen air masih sangat
minnim.
Kami berangkat ke
sumber air pagi hari ditemani oleh beberapa warga dusun serta pak kepala dusun.
Ada banyak anggota KKN yang ikut serta, terutama anggota laki-laki. Anggota
perempuan yang ikut hanya 4 orang karena medan yang berat.
Awal perjalanan saya
lalui dengan santai, apalagi dua hari sebelumnya saya juga melakukan perjalanan
naik ke dusun sebelah dan melakukan survei batas administrasi dusun.
Sayang, di seperlima
perjalanan, saya sudah merasa begitu lelah dan tidak lagi kuat. Beruntungnya,
ada rumah orangtua pak kadus di kebun yang dekat dengan jalur perjalanan. Saya
dan dua orang lain yaitu Unies dan Faqih akhirnya memutuskan untuk melipir dan tidak melanjutkan
perjalanan. Saya tahu jika memaksa tetap naik, maka mungkin hal buruk akan
terjadi dan saya tidak ingin merepotkan teman-teman. Berkuliah di fakultas
kehutanan membuat saya tahu batas dari tubuh saya sendiri.
Di rumah pak kadus di
tengah kebun itu, saya bertemu dengan anak-anak yang kebetulan naik untuk
mencari sayur. Mereka adalah Uli, Yanti, Mulyani, Anwar dan Jus. Anak-anak
dusun Tenggorong memang kuat karena sudah terbiasa berjalan kaki berkilo-kilo
meter. Di rumah tersebut, kami dijamu dengan kelapa muda dan bahkan Unies
diajak untuk mencari durian. Sayang, durian di kebun sudah tidak ada yang matang. Selain itu, Ina
(sebutan untuk Ibu) juga menjamu kami dengan Lomak (di Jawa disebut dengan
Mbote), yaitu sejenis ubi yang dibakar. Sungguh enak sekali.
Dari situ, saya tahu
satu hal : Masyarakat di Tenggorong sangat dermawan dengan tamu. Bahkan mereka
tidak segan-segan membagi seluruh makanan yang mereka punya untuk orang lain. Hidup
dengan saling berbagi itu indah.
Setelah meminum air
kelapa, Uli berseru “Kak ayo ikut ke sana, saya mau cari cabai dan paku.”
Tertarik dengan tawaran
tersebut, saya pun mengikuti anak-anak tersebut masuk ke dalam kebun yang
rindang. Di sisi jalan setapak kebun, anak-anak mulai memetik paku yang tumbuh
liar. Dalam bahasa sasak, paku adalah pakis. Masyarakat memang sering
memanfaatkan pakis yang tumbuh liar untuk dibuat sayur. Semakin masuk ke kebun,
anak-anak mengajak saya untuk memetik cabai yang juga tumbuh liar. Tidak
seperti cabai rawit kebanyakan, cabai liar tersebut sangat kecil, mungkin
panjangnya hanya 1 cm.
“Kakak berani coba
ini?” Tanya Jus sembari menyodorkan sebuah cabai merah di depan saya.
Saya menggeleng, tidak
berani mencoba, sebab Uli bercerita bahwa cabai tersebut merupakan jenis cabai
yang sangat pedas. Satu gigit saja dapat membuat kepedasan hingga tidak karuan.
Di Tenggorong, cabai rawit tersebut dinamai Sebia berik.
Jenis tanaman di kebun
yang kami masuki sangat beragam. Ada mangga, kakao, cabai liar, pakis, dan
bahkan vanila. Mata pencaharian utama warga memang berkebun dengan komoditas
utama berupa kakao, jambu mete, kelapa, mangga dan pisang.
Setelah berkeliling dan
mendapatkan cukup banyak pakis serta cabai, kami kembali ke rumah pak kadus di
tengah kebun. Sesampainya di rumah, kami dijamu lagi dengan makan siang.
Sederhana, hanya nasi dengan sayur bayam, tetapi jangan tanya rasanya, luar
biasa enak. Kami makan dengan lahap siang itu, melupakan kawan-kawan kami yang
sedang kesusahan naik ke sumber air (hehe).
Di
rumah, kawan-kawan saya berbincang dengan amaq dan ina di sana. Saya mencuri dengar
percakapan mereka.
“Di sini apa-apa
tersedia, tinggal ambil di kebun saja sudah. Pemuda di sini tidak kerja
seminggu pun masih bisa makan setahun.” Jelas salah seorang.
Kata-kata tersebut
sudah pernah saya dengar sebelumnya dari salah satu pemuda dusun yang kebetulan
sedang mengobrol bersama kawan-kawan di baruga.
Selama beberapa minggu
di sini, saya dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga : Bahwa
terkadang, hidup juga perlu untuk tidak muluk-muluk.
Mengamati keseharian
masyarakat, saya menyimpulkan bahwa uang memang bukan hal yang penting di
masyarakat Tenggorong. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh kebutuhan yang
tersedia dengan mudah di alam. Masyarakat hidup dengan bahagia meskipun bagi
orang-orang luar dusun, mungkin kehidupan mereka sangat memprihatinkan.
Masyarakat tentu
membutuhkan uang, misalnya untuk membayar sekolah atau membeli kebutuhan lain,
tetapi hal tersebut tidak membuat masyarakat menjadi hidup dengan ngoyo (bersusah payah) untuk mengejar
uang.
Tidak ada yang salah
dengan hidup sederhana.
Tidak ada yang salah
dengan berpasrah.
Pada akhirnya, hidup
memang hanya tentang kebahagiaan. Melihat perbandingan orang-orang di kota
besar yang kadang tidak bahagia meskipun bergelimang harta dengan orang-orang
di Tenggorong yang tetap hidup penuh sukacita meskipun kekurangan, membuat saya
sadar bahwa kebahagiaan memang tidak pernah bisa diukur dengan uang.
Saya bahkan tidak
percaya diri saya bahagia berada di daerah yang lumayan terpencil ini. Kadang
saya mengeluh tentang keterbatasan air dan hal-hal lain, tapi saya sungguh
bahagia berada di sini. Setiap hari melihat pemandangan gunung rinjani di depan
mata, setiap malam terkagum-kagum melihat langit cerah penuh bintang. Semua itu
sudah lebih dari cukup untuk membuat saya bahagia.