01 : 3

by Orange Blue


Saat menginjak usia dua puluh dua, corona sedang mewabah nggak kenal jeda. Jadinya aku yang berjarak tiga tahun dari seperempat abad ini cuma tumbuh di rumah, didekap banyak rasa kecewa karena dunia ternyata lebih kejam dari yang pernah diterka.

Aku di umur dua puluh dua jadi tiba-tiba fasih berucap "yaudahlah".  Belum lagi jadi pandai memaklumi. Juga jadi paham kalau ternyata selama ini aku nggak cukup pandai mencintai diri sendiri.

Menghabiskan umur dua puluh dua di situasi seperti ini memang nggak pernah mudah. Mungkin kalau sekarang masih delapan belas, aku bakalan lebih baik-baik aja. 

Dua puluh dua harusnya jadi cerita lain tentang nangis di kamar kosan sendirian karena lelah dengan kerjaan, bukan nangis di rumah karena capek jadi pengangguran. Dua puluh dua harusnya jadi kisah masa muda yang penuh juang dan kesah. Harusnya.

Tapi toh sekarang aku juga nggak lagi cuma berdiam diri. Dua puluh dua tetap bakal jadi cerita perjuangan dengan lain warna. Dua puluh duaku juga bakal jadi saksi betapa perempuan kecil ini sudah dengan hebat berjuang buat tetap sehat dan waras.

Nggak menyerah aja rasanya sudah syukur luar biasa.

Kabar baiknya, aku jadi lebih mencintai diri sendiri. Aku jadi tahu kapan harus mendengar dan kapan harus abai. Kapan harus pergi dan kapan harus berhenti.

Pun aku jadi punya banyak kesempatan untuk belajar. Belajar bikin kue, belajar gambar, belajar nulis, belajar bikin sourdough yang starternya nggak pernah jadi tapi tetap aku tekuni, belajar jualan, belajar bahasa, belajar menerima.

Nggak semua orang punya cukup tenaga berkutat di dapur dengan tepung dan telur. Nggak semua orang punya cukup waktu untuk belajar menggambar. Nggak semua orang punya cukup niat belajar menulis. Nggak semua orang punya cukup sabar memberi makan bakteri setiap hari. Nggak semua orang punya cukup uang untuk mulai jualan. Nggak semua orang punya cukup antusias untuk belajar bahasa dan nggak semua orang punya seteguk kuasa untuk menerima.

Jadi akhirnya aku juga belajar menghargai usaha. Langkah kecil juga tetap langkah, kan?

Kalau aku masih dua puluh yang penuh bara dan ambisi, mungkin hanya bakal ada marah dan iri yang mengisi kepala atau hati. Tapi ini dua puluh dua. Sudah selayaknya aku belajar jadi sedikit dewasa. 

Nanti kalau sudah tiga puluh dua atau empat puluh dua, mungkin aku juga ingin kembali ke dua puluh dua cuma buat memeluk diri sendiri sambil berkata "terima kasih". Mungkin.

Kata orang, hidup dimulai pada usia dua puluh tiga, jadi sekarang perempuan dua puluh dua ini sedang was-was menjalani tiga bulan menuju dua puluh tiganya. Bertanya-tanya apa yang sekiranya akan dua puluh tiga beri. Mungkin sedikit kejutan, mungkin juga hal besar yang mengagumkan. Pun tak lupa berpikir apa yang bisa diberi untuk dua puluh tiga supaya lebih berwarna. Mungkin sedikit rasa optimis, mungkin juga usaha keras dan hati yang lebih kuat.

Tapi intinya, perempuan dua puluh dua ini bahagia telah hidup sebagai dirinya.