MENEMBUS KAYANGAN : SEBUAH KISAH UNTUK DIKENANG #2
SDN 04 Gumantar
Sabtu pagi itu adalah perkenalan pertama saya dengan adik-adik kelas I di SDN 04 Gumantar. Tak banyak yang mengejutkan, sebab di hari-hari sebelumnya, saya sudah cukup mengenal beberapa dari mereka. Ruang kelas yang seadanya pun tak lagi membuat saya prihatin. Ah, ruang kelas kecil itu telah kami tata sedikit sebelum kegiatan belajar semester genap resmi dimulai. Kami memang sedang menjalani program KKN di dusun Tenggorong.
Dari beberapa siswa yang hadir pagi
itu, ada seorang anak yang menarik perhatian saya. Kecil, lincah, ingusan dan
selalu tersenyum. Handi namanya. Tak seperti anak lain yang kurang aktif, Handi
justru merupakan anak paling aktif di kelas. Saya membaca pribadi Handi sebagai
anak yang selalu mencari perhatian (bisa dalam konteks baik dan buruk).
Handi
begitu tertarik mengerjakan tugas yang saya berikan, tapi di sisi lain, juga
sangat gaduh di kelas. Hal tersebut membuat saya harus berkali-kali menegur
Handi agar tidak mengganggu temannya. Apalagi, dengan ruang kelas yang
seadanya, suara-suara bising dari kelas dapat terdengar jelas di kelas sebelah.
Tentu saya tidak ingin kelas saya mengganggu proses belajar kelas lain.
Mengajar Bahasa Indonesia bagi anak
kelas satu ternyata bukan perkara mudah. Tak banyak yang dapat saya ajarkan
selain mengeja huruf, membaca kalimat dan menulis. Text book yang saya ambil di Perpustakaan sebagai pedoman pun pada
akhirnya tak tersentuh. Beberapa anak kelas satu memang sudah pandai membaca,
tapi lebih banyak yang belum mengenal huruf. Selain itu, cara mengeja beberapa
huruf berbeda dengan yang biasa saya lakukan. Misalkan, untuk mengeja huruf B
(Be), anak-anak menyebutnya B (Eb), Begitu pula dengan D (Ed), T (Et), dan lain
sebagainya.
Awalnya, saya mencoba untuk membenarkan ejaan huruf
dengan semestinya, tapi nampaknya anak-anak lebih mudah memahami huruf dengan
ejaan versi mereka. Sebagian besar dari mereka belum mengenal huruf, jika saya
memaksakan mengeja dengan benar, maka rasanya akan mempersulit cara belajar
mereka. Apalagi, ejaan yang digunakan oleh para guru juga sama dengan ejaan
yang sudah mereka gunakan.
Selain kelas satu, saya juga
berkesempatan mengajar Bahasa Indonesia di kelas tiga. Tak banyak perbedaan
yang terlihat dari kelas satu dan kelas tiga. Kelas yang tidak kondusif,
anak-anak yang hiperaktif, buku pelajaran yang tidak digunakan, serta kemampuan
membaca yang sangat kurang masih mendominasi kelas tiga. Bedanya, di kelas tiga
sudah lebih banyak yang dapat membaca, meskipun sebagian tetap tidak mengenal
huruf.
Kondisi itu cukup membuat saya dan
teman-teman lain prihatin. Memang, saya pun banyak mendengar atau membaca
kisah-kisah pendidikan dari daerah terpencil atau daerah terluar, yang memang
tidak sebaik sistem di kota-kota besar, tapi saya juga tidak menyangka bahwa
kondisinya seburuk ini. Belum bisa membaca di kelas tiga bukan sebuah perkara
yang bisa disepelekan. Ada yang salah dengan sesuatu di sana.
Setelah mengamati lebih jauh,
ternyata anak-anak juga seperti sedikit kehilangan antusiasme untuk belajar di
sekolah. Setidaknya, begitulah penuturan para guru. Sekolah yang seharusnya
selesai pukul 12.00 harus dibubarkan pukul 10.00 karena pada jam itu, anak-anak
sudah tidak terkondisikan. Saya juga membenarkan hal tersebut.
Saya pernah meminta anak-anak untuk
tetap berada di kelas ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10, tetapi Handi
berkata “Capek kak kalau lama-lama. Kami jam sepuluh biasanya sudah pulang,
ngantuk kalau masih di kelas.”
Ah iya, anak itu sering kabur ketika
jam istirahat tiba dan sering tidak kembali ke kelas.
Saya kurang paham apakah antusiasme
anak-anak memang sudah minim atau gempa berkekuatan besar yang melunturkan
semangat mereka.
Jika
ditilik dari jejak puing bangunan yang masih berserakan di sekitar SD, dapat
ditelusuri bahwa sebelum gempa, bangunan SD lumayan besar dan fasilitas juga
cukup memadai (setidaknya ada toilet, perpustakaan dan printer). Gempa
menghancurkan itu semua dan menyisakan duka memilukan bagi siapa saja yang
melihatnya.
Gempa sudah berlalu beberapa bulan
ketika saya tiba di dusun Tenggorong (meskipun gempa-gempa kecil masih sering
terjadi), tapi bangunan SDN 04 Gumantar memang masih berdiri dengan ringkih.
Sudah ada perbaikan dari para donatur dan relawan, tapi entah bagaimana saya
masih kurang melihat upaya Pemerintah dalam memperbaiki bangunan SD. Entah saya
yang kurang informasi atau bagaimana.
Ruang kelas dari bambu dan
beratapkan jerami memang diklaim paling tahan gempa dan memang sudah terbukti,
tapi kondisi ruang kelas benar-benar jauh dari kata layak. Jika hujan,
anak-anak terpaksa harus segera pulang karena kelas akan tergenang. Kayu
penyekat antar kelas juga hanya dipasang setengah. Ruang kelas pun terlalu
sempit untuk ukuran kelas berisi 20 anak. Meja dan kursi hanya tersedia di
kelas empat hingga enam, sementara kelas satu sampai tiga harus rela belajar
dengan duduk di kursi yang sebenarnya merupakan meja untuk belajar dengan
lesehan.
Dengan kondisi itu, saya tidak bisa
menyalahkan anak-anak atas antusiasme yang rendah, sebab bisa saja kondisi
sekolah yang minim fasilitas tersebut membuat mereka tidak nyaman.
Selain
antusiasme yang kurang, seorang anak bernama Sul juga pernah menjelaskan bahwa
absennya di kelas ditentukan oleh masa panen buah-buah di kebun.
Ketika
buah-buah seperti mangga, coklat maupun mete sudah memasuki waktu panen, maka
Sul akan bolos sekolah dan membantu keluarganya memanen buah. Begitupun ketika
musim tanam tiba. Kondisi itu juga diamini oleh beberapa anak lain. Faktor
ekonomi memang terkadang masih menjadi kendala.
Di
Tenggorong, tak sedikit anak-anak yang harus putus sekolah karena biaya,
apalagi bagi anak perempuan. Pendidikan anak laki-laki terkadang masih
diperhatikan dengan baik, tapi anak perempuan sering mengalami kendala untuk
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
Adat pernikahan yang unik juga
menjadi salah satu faktor putusnya sekolah. Sudah menjadi hal yang wajib di
sana bahwa pernikahan harus diawali dengan “penculikan” sang calon mempelai
perempuan. Penculikan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh
diketahui pihak keluarga perempuan.
Biasanya
anak perempuan yang hilang selama tiga hari baru dicari keberadaannya dan akan
segera dinikahkan jika sudah ditemukan penculiknya. Saya menyaksikan seorang
anak perempuan yang masih SMP putus sekolah dan menikah di masa KKN saya. Tentu
penculikan juga tidak semena-mena, biasanya sudah ada kerjasama dari sang
laki-laki dan perempuan.
Walau begitu, adat tetap adat. Saya
sangat menghargai adat unik tersebut. Saya tidak pernah menyalahkan anak SMP
yang putus sekolah karena menikah, hanya saja bukannya terlalu dini? Saya cukup
yakin bahwa anak-anak di sana masih perlu banyak arahan dan penyuluhan yang
memadai agar setidaknya menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu sebelum
menikah. Setidaknya, anak-anak harus mendapat ijazah SMP (walau wajib belajar
harusnya 12 tahun). Adat akan tetap berjalan sesuai dengan yang semestinya,
tapi pendidikan juga bagian penting dalam sebuah perjalanan hidup manusia. Jika
adat dan pendidikan berjalan sesuai porsinya, maka tentu kehidupan yang lebih
baik juga dapat lebih murah diraih.
Bagaimanapun,
saya masih sering kepikiran dengan anak-anak kelas enam. Mereka akan menghadapi
Ujian Nasional kala itu, tapi atmosfer belajar yang serius belum kunjung saya
dapati di kelas mereka. Anak-anak masih menghabiskan lebih banyak waktu untuk
bermain dan membantu orangtua daripada belajar.
Kini mereka seharusnya sudah selesai
menjalani UN. Saya tak tahu bagaimana mereka melewatinya dan bagaimana
hasilnya. Saya hanya berharap mereka semua berhasil lulus dan melanjutkan
pendidikan.
Sejujurnya, saya pribadi masih
bingung apakah harus pro UN atau bahkan kontra. Mempunyai standar yang sama
untuk pendidikan bisa menjadi poin baik yang penting bagi proses perkembangan
sistem pendidikan. Tapi dengan berbagai macam cerita kontrasnya sistem dan
fasilitas sekolah di banyak daerah, maka rasa-rasanya menetapkan standar
nasional masih kurang cocok diterapkan.
Saya lebih setuju bahwa dana UN yang
tiap tahun digelontorkan dengan jumlah fantastis itu digunakan untuk
pembangunan yang benar-benar merata di semua SD di Indonesia. Jika menetapkan
standar kelulusan yang sama, maka setidaknya standar sistem dan fasilitas
masing-masing sekolah juga harus sama. Entahlah, pendapat pribadi saya memang
tidak pantas didengarkan sebab sama sekali tidak beresensi. Kementrian
Pendidikan tentu sudah memikirkan segalanya dengan baik.
Pada akhirnya, KKN di Tenggorong
membuat saya sekali lagi mengenal Indonesia melalui wajah pendidikannya.
Indonesia masih butuh banyak berbenah. Saya juga butuh banyak berbenah untuk
bisa berkontribusi membenahi Indonesia. Maka dari itu, mari berjuang
bersama-sama. Perubahan besar di Negara besar ini pasti dimulai dari perubahan
pribadi warga negaranya.
SEMANGAT!!