Menembus Kayangan : Sebuah Kisah untuk Dikenang #1

Pagi itu, semua orang sibuk mempersiapkan dirinya masing-masing. Saya sedang duduk-duduk di pondokan perempuan ketika salah seorang teman bertanya “Kamu ikut naik ga?”
Keyakinan saya untuk tinggal di pondokan langsung goyah. Keinginan untuk menjadi lebih dekat dengan rinjani pun membuat saya memantapkan hati untuk turut serta naik ke atas. Seperti rencana, agenda hari itu adalah mengecek sumber air Batubara yang berlokasi di perbatasan Taman Nasional Gunung Rinjani.
Perjalanan dimulai dari depan pondokan KKN di dusun Tenggorong, desa Gumantar. Pengecekan sumber air bertujuan untuk memastikan kondisi sumber, karena air di dusun Tenggorong memang sering tidak mengalir.
Sebagai gambaran, air terkadang hanya mengalir ketika pagi dan sore hari, bahkan pernah tidak mengalir selama tiga hari berturut-turut. Manajemen distribusi air memang masih sangat kurang dan kesadaran masyarakat akan pentingnya manajemen air masih sangat minnim.
Kami berangkat ke sumber air pagi hari ditemani oleh beberapa warga dusun serta pak kepala dusun. Ada banyak anggota KKN yang ikut serta, terutama anggota laki-laki. Anggota perempuan yang ikut hanya 4 orang karena medan yang berat.
Awal perjalanan saya lalui dengan santai, apalagi dua hari sebelumnya saya juga melakukan perjalanan naik ke dusun sebelah dan melakukan survei batas administrasi dusun.
Sayang, di seperlima perjalanan, saya sudah merasa begitu lelah dan tidak lagi kuat. Beruntungnya, ada rumah orangtua pak kadus di kebun yang dekat dengan jalur perjalanan. Saya dan dua orang lain yaitu Unies dan Faqih akhirnya memutuskan untuk melipir dan tidak melanjutkan perjalanan. Saya tahu jika memaksa tetap naik, maka mungkin hal buruk akan terjadi dan saya tidak ingin merepotkan teman-teman. Berkuliah di fakultas kehutanan membuat saya tahu batas dari tubuh saya sendiri.
Di rumah pak kadus di tengah kebun itu, saya bertemu dengan anak-anak yang kebetulan naik untuk mencari sayur. Mereka adalah Uli, Yanti, Mulyani, Anwar dan Jus. Anak-anak dusun Tenggorong memang kuat karena sudah terbiasa berjalan kaki berkilo-kilo meter. Di rumah tersebut, kami dijamu dengan kelapa muda dan bahkan Unies diajak untuk mencari durian. Sayang, durian di kebun sudah  tidak ada yang matang. Selain itu, Ina (sebutan untuk Ibu) juga menjamu kami dengan Lomak (di Jawa disebut dengan Mbote), yaitu sejenis ubi yang dibakar. Sungguh enak sekali.
Dari situ, saya tahu satu hal : Masyarakat di Tenggorong sangat dermawan dengan tamu. Bahkan mereka tidak segan-segan membagi seluruh makanan yang mereka punya untuk orang lain. Hidup dengan saling berbagi itu indah.
Setelah meminum air kelapa, Uli berseru “Kak ayo ikut ke sana, saya mau cari cabai dan paku.”
Tertarik dengan tawaran tersebut, saya pun mengikuti anak-anak tersebut masuk ke dalam kebun yang rindang. Di sisi jalan setapak kebun, anak-anak mulai memetik paku yang tumbuh liar. Dalam bahasa sasak, paku adalah pakis. Masyarakat memang sering memanfaatkan pakis yang tumbuh liar untuk dibuat sayur. Semakin masuk ke kebun, anak-anak mengajak saya untuk memetik cabai yang juga tumbuh liar. Tidak seperti cabai rawit kebanyakan, cabai liar tersebut sangat kecil, mungkin panjangnya hanya 1 cm.
“Kakak berani coba ini?” Tanya Jus sembari menyodorkan sebuah cabai merah di depan saya.
Saya menggeleng, tidak berani mencoba, sebab Uli bercerita bahwa cabai tersebut merupakan jenis cabai yang sangat pedas. Satu gigit saja dapat membuat kepedasan hingga tidak karuan. Di Tenggorong, cabai rawit tersebut dinamai Sebia berik.
Jenis tanaman di kebun yang kami masuki sangat beragam. Ada mangga, kakao, cabai liar, pakis, dan bahkan vanila. Mata pencaharian utama warga memang berkebun dengan komoditas utama berupa kakao, jambu mete, kelapa, mangga dan pisang.
Setelah berkeliling dan mendapatkan cukup banyak pakis serta cabai, kami kembali ke rumah pak kadus di tengah kebun. Sesampainya di rumah, kami dijamu lagi dengan makan siang. Sederhana, hanya nasi dengan sayur bayam, tetapi jangan tanya rasanya, luar biasa enak. Kami makan dengan lahap siang itu, melupakan kawan-kawan kami yang sedang kesusahan naik ke sumber air (hehe).
            Di rumah, kawan-kawan saya berbincang dengan amaq dan ina di sana. Saya mencuri dengar percakapan mereka.
“Di sini apa-apa tersedia, tinggal ambil di kebun saja sudah. Pemuda di sini tidak kerja seminggu pun masih bisa makan setahun.” Jelas salah seorang.
Kata-kata tersebut sudah pernah saya dengar sebelumnya dari salah satu pemuda dusun yang kebetulan sedang mengobrol bersama kawan-kawan di baruga.
Selama beberapa minggu di sini, saya dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga : Bahwa terkadang, hidup juga perlu untuk tidak muluk-muluk.
Mengamati keseharian masyarakat, saya menyimpulkan bahwa uang memang bukan hal yang penting di masyarakat Tenggorong. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh kebutuhan yang tersedia dengan mudah di alam. Masyarakat hidup dengan bahagia meskipun bagi orang-orang luar dusun, mungkin kehidupan mereka sangat memprihatinkan.
Masyarakat tentu membutuhkan uang, misalnya untuk membayar sekolah atau membeli kebutuhan lain, tetapi hal tersebut tidak membuat masyarakat menjadi hidup dengan ngoyo (bersusah payah) untuk mengejar uang.
Tidak ada yang salah dengan hidup sederhana.
Tidak ada yang salah dengan berpasrah.
Pada akhirnya, hidup memang hanya tentang kebahagiaan. Melihat perbandingan orang-orang di kota besar yang kadang tidak bahagia meskipun bergelimang harta dengan orang-orang di Tenggorong yang tetap hidup penuh sukacita meskipun kekurangan, membuat saya sadar bahwa kebahagiaan memang tidak pernah bisa diukur dengan uang.
Saya bahkan tidak percaya diri saya bahagia berada di daerah yang lumayan terpencil ini. Kadang saya mengeluh tentang keterbatasan air dan hal-hal lain, tapi saya sungguh bahagia berada di sini. Setiap hari melihat pemandangan gunung rinjani di depan mata, setiap malam terkagum-kagum melihat langit cerah penuh bintang. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya bahagia.