MENGENAL WAJAH INDONESIA
Ada masa di mana saya
menjadi begitu nasionalis, setiap kali melihat tim putra maupun tim putri
badminton berhasil menjuarai sebuah kompetisi, atau ketika tim sepak bola
berhasil menjadi juara, saya hampir selalu menangis sekaligus bangga. Tapi rasa
nasionalisme seperti itu timbul hanya karena melihat prestasi yang membanggakan
dari bangsa Indonesia.
Di hari-hari biasa
ketika tidak ada pertandingan badminton maupun bola, menit demi menit waktu
saya habis oleh pikiran-pikiran iba sekaligus sedih melihat bangsa Indonesia.
Bukan, saya bukannya mengatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
buruk. Hanya saja, masih ada yang salah dengan orang-orang kita. Banyak hal
terjadi, tapi kita seperti belum kunjung belajar.
Satu isu yang paling
santer terdengar beberapa tahun terakhir adalah isu SARA (Suku, Ras, Agama).
Keprihatinan saya timbul ketika melihat orang-orang saling menyalahkan satu
sama lain hanya karena tidak menerima perbedaan. Banyak yang melontarkan ujaran
kebencian di media sosial, hanya karena merasa bahwa dirinya dan golongannya
yang paling benar.
Berangkat dari
keprihatinan itu, saya bertekad akan membuat Indonesia menjadi lebih baik di
masa depan. Sesuatu yang besar dan penuh khayal, bukan? Tapi saya yakin, selalu
ada jalan untuk menjadi lebih baik. Bagi saya, membuat Indonesia menjadi baik
dapat dimulai dari diri sendiri. Setidaknya, belajar dengan rajin dan mulai
melakukan hal-hal kecil bermanfaat juga sudah cukup untuk perlahan-lahan
memperbaiki Indonesia.
Tahun lalu, saya
berkesempatan bergabung dengan sebuah gerakan menginspirasi di kampus saya.
Sebuah gerakan yang berfokus pada pendidikan karakter untuk anak-anak. Walau
hanya satu semester bergabung, saya cukup bisa melihat wajah pendidikan
indopnesia melalui perspektif yang berbeda. Gerakan kami bekerjasama dengan
salah satu sekolah dasar di daerah Godean Yogyakarta. Awalnya, sekolah yang
agak jauh dari kota ini mengingatkan saya pada sekolah dasar saya di kampung
halaman. Bedanya, murid di sekolah tersebut sudah banyak, berbanding terbalik
dengan sekolah saya yang hanya memiliki sedikit murid.
Seperti peraturan yang
sudah ada, kami yang bergabung di gerakan tersebut akan berkunjung ke SD dua
minggu sekali secara rutin. Kami memilih hari Sabtu sebagai hari berkunjung,
dan hal tersebut dilakukan selama satu semester lamanya. Sesuai fokus yang
telah menjadi dasar sejak gerakan ini terbentuk, kami secara rutin berdiskusi
tentang materi pendidikan karakter yang akan diajarkan. Materi dikemas delam
bentuk interaksi dan permainan dengan adik-adik, dengan harapan bahwa mereka
akan menikmati waktu bersama kami tanpa kehilangan esensi dari pendidikan
karakter itu sendiri.
Waktu itu, saya
kebagian membersamai adik-adik kelas satu dan dua. Kelas yang diisi oleh
anak-anak yang masih begitu kecil. Awalnya, saat pertama kali kami datang,
semua adik-adik di sana sangat pendiam, seolah malu-malu. Tapi kami berusaha
semaksimal mungkin untuk membaur bersama adik-adik.
Di pertemuan setelah pembukaan itu,
adik-adik di sana masih menunjukkan sikap malu-malu dan pendiam. Tak banyak
yang aktif, mungkin hanya beberapa anak yang memang lebih berani dibandingkan
yang lain. Ada berbagai tema berbeda yang diajarkan tiap minggunya, mulai dari
kerja sama tim dan saling membantu melalui media menggambar batik di kertas.
Skema yang dibuat yaitu dengan membagi adik-adik menjadi beberapa kelompok. Di
tiap kelompok, hanya disediakan beberapa pensil warna. Setiap orang harus
bergantian memakai pensil warna satu sama lain. Kami harap, hal tersebut dapat
menumbuhkan rasa kerjasama yang baik antar teman. Selain itu, jika ingin
meminjam pensil dengan warna lain, maka diwajibkan untuk mengatakan “tolong”
dan mengatakan “terima kasih” ketika mengembalikannya. Sederhana, tetapi mungkin
perubahan-perubahan besar dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bagi saya, tema
tersebut sangat relevan dengan keadaan hari ini. Orang-orang dewasa (termasuk
saya) terkadang masih belum tahu bagaimana caranya meminta tolong dan berterima
kasih. Sungguh ironis.
Di minggu berikutnya, adik-adik yang
awalnya terlihat polos dan pendiam mulai menampakkan sifat asli mereka. Tak
butuh waktu lama bagi saya untuk dapat mengenali sifat adik-adik di kelas satu.
Sikap tidak mau diam dan banyak tingkah khas anak mulai mewarnai minggu-minggu
berikutnya. Terkadang, ada perasaan kesal pada adik-adik yang terlampau ramai
di kelas, tetapi bukankah anak-anak memang seharusnya seperti itu? Ramai dan
banyak bergerak serta selalu ceria. Saya dituntut untuk dapat memahaminya.
Di
kelas yang saya bersamai, adik-adik yang polos ternyata bisa berubah menjadi
‘nakal’ dalam sekejap. Ada beberapa adik yang menjahili temannya melampaui
batas, ada yang tidak bisa diam dan selalu berteriak kepada kami, ada pula yang
selalu membantah perkataan kami. Tapi di antara itu semua, ada salah satu anak
yang menarik di mata saya. Anak ini adalah anak yang tampan, dan memiliki wajah
khas keturunan ras tertentu. Bagi
volunteer lain, anak tersebut menarik karena pintar dan lucu. Bagi saya, anak
tersebut menarik karena seperti ada sesuatu yang berbeda dari dia. Di saat
teman-temannya saling bermain dan menjahili satu sama lain, dia lebih banyak terlihat
sendiri. Bukan pendiam, dia juga sebenarnya anak yang aktif, tapi sepertinya
ada sesuatu yang salah.
Keheranan
saya terjawab beberapa minggu setelahnya. Ketika akhirnya kami mengadakan
evaluasi di akhir kegiatan mengajar di suatu sabtu yang panas, ada salah satu
senior yang bercerita tentang deskriminasi di SD tersebut. Ternyata, anak yang
saya sebutkan di atas adalah salah satu korban dari perilaku deskriminasi,
karena terlihat berbeda. Senior saya mengatakan bahwa anak-anak di SD sudah
bisa mengatakan hal-hal yang berbau SARA pada teman sebayanya. Saya positif
tidak mengerti. Seharusnya, untuk ukuran anak yang masih belia, deskriminasi
bukan sesuatu yang harus mereka kenal. Tapi sepertinya, pengaruh lingkungan
sekitar membuat mereka dapat dengan mudah mengenal kata deskriminasi. Adik-adik
yang masih polos itu mungkin bisa mengatakan hal-hal yang berbau SARA, tapi
saya yakin bahwa mereka tidak benar-benar tahu maknanya, bahkan mungkin mereka
juga tidak menyadari bahwa apa yang mereka katakan adalah sesuatu yang
seharusnya dihindari untuk dikatakan.
Rasa
prihatin saya semakin menjadi-jadi. Negara ini akan ada di ambang kehancuran
jika manusia-manusia di dalamnya begitu membenci perbedaan. Perilaku anak-anak
di sekitar kita juga merupakan cerminan perilaku kita serta menjadi cerminan
bagaimana watak dan wajah bangsa kita yang sesungguhnya. Jika masyarakat atau
orang-orang dewasa terbiasa dan membiasakan deskriminasi, maka anak-anak di
sekitar akan terpengaruh. Padahal, harapan bangsa ada di pundak anak-anak polos
dan lugu tersebut.
Saya
masih terus berharap bahwa orang-orang dewasa di luaran sana bisa sadar dan
berhenti memusuhi golongan-golongan tertentu hanya karena perbedaan. Bahwa
dalam hidup, ada hal-hal yang sudah menjadi takdir dan tidak dapat diubah.
Kesadaran yang sederhana tersebut akan berdampak banyak pada kemajuan bangsa
indonesia. Selama ini, kita sama-sama tahu bahwa kemajuan Indonesia masih dan
selalu saja terhalang oleh pola pikir dan karakter masyarakat yang masih jauh
dari kata maju.
Mulai
dari sekarang, mari mengubah diri sendiri! Mari berpikiran lebih luas dan tidak
mudah tersulut oleh hal-hal yang sepele! Masa depan negara ini juga menjadi
tanggung jawab kita, orang-orang yang selama ini menikmati kekayaan alam negara
ini. Selama ini, kita mungkin salah dan membiarkan bangsa kita semakin
mengalami kemunduran. Tapi bagian terpenting dari melakukan kesalahan adalah
bahwa selalu ada kesempatan untuk belajar dan memperbaiki semuanya.
Semangat
untuk Indonesia yang lebih baik.